Sabtu, 14 Agustus 2010

Usia..

“HARI KELAHIRAN adalah sebuah petanda akan perjanjian diri dengan waktu, dengan usia.” Begitulah seorang filsuf lokal pernah berujar, di blognya, yang sesunyi hutan jatiwangi itu. Sejenak diri ini kemudian mencoba merenung, dan berusaha menuai arti. Sebetulnya apa makna dari sepotong usia? Lantas, kesimpulan apa pula yang bisa dirangkum setelah hidup sekian puluh tahun di dunia? Dan, pas-kah, serta patut bergembira pulakah, diri ini menadahi derai ucapan selamat dari berbagai penjuru tempat ketika umur justru makin membengkak dan kian menua, ketika beban hidup justru kian memberat di depan mata, dan masih banyak sengkarut cita yang tak kunjung terlaksana? ——Sumpah, jika saya ditakdirkan masih lama hidup, saya tidak ingin sederet pertanyaan ini kembali saya pertanyakan di usia tahun depan.

.
.
.
Jika, usia lebih dimaknai sebagai sebuah pe-nanda, perihal se-be-rapa banyak pen-ca-paian hidup yang telah dituai, dan pencapaian tersebut pantas untuk dirayakan, maka bolehlah kiranya, hari kelahiran disambut dengan gegap-gempita dan penuh sukacita. Namun jika yang terjadi adalah sebaliknya, yang mana, ketika diri ini telah menginjak usia yang lebih baru, dan ketika menengok dengan lebih awas apa saja yang sudah dikerjakan selama ribuan hari ke belakang ternyata tidak lebih dari sekedar perulangan rutinitas yang itu-itu saja, dengan kualitas hidup yang tak jua membuat wajah merona bahagia, maka agaknya akan menjadi sesuatu yang salah alamat apabila hari kelahiran malah dirayakan. Alih-alih, justru itu adalah hari yang lebih pantas dipakai buat berkabung!

Ah, saya jadi ingat, kali pertama dulu Ibu mengadakan syukuran sederhana di suatu maghrib ketika usia sebelas telah saya pungkas. Tak ada acara tusuk balon, tak ada pula acara nyanyi-nyanyi dengan volume stereo, apalah lagi acara potang-potong kue, alih-alih kami hanya menyediakan berkat berupa nasi uduk dengan taburan suwar-suwir telur dadar ala kadar, dan hanya mengundang beberapa kerabat dan tetangga dekat, guru ngaji serta selusinan rekan seperguruan (cuma naruto nga dateng waktu itu xixiix ). Lalu, dengan formasi duduk macam tahlilan, digelarlah Yasinan satu balikan, persis acara hajatan untuk orang mati ketimbang syukuran hari kelahiran. Tapi tetap saja, itu adalah salah satu momen penuh kesan lagi bermakna, ketika secara tak sadar diri ini diingatkan bahwa penambahan usia tak lain hanyalah sebuah marka, isyarat, bahwa tepian ajal semakin dekat. Ya, kurang lebih demikianlah sependek pemahaman waktu itu.

Lalu sekarang, perihal apa, yang bisa disimpulkan dari setelah sekian lama “menyetubuhi” lekuk-lekuk hidup, yang sejatinya tak pernah ternikmati itu. Untuk diri ini, kiranya satu hal yang harus dicatat tebal-tebal, bahwa di setiap ujung stasi perjalanan, pastilah akan selalu ada sayup-sayup suara batin yang menekan ulu hati, yakni perihal sesal yang tak bermuasal. Tak terhitung sudah berapa kali diri ini menepuk jidat, dan dengan nafas berat kata-kata ini pun lukat, “Dduhh…! Kenaapaa tidak dari duluu…” Maka terbayang apabila jika kelak usia sudah begitu renta, dan di setiap perulangan tahun hanya kata-kata sesal seperti tadi saja yang selalu keluar, maka betapa menyedihkannya hidup itu.

.terinsiprasi dari

.Bpk Wahyu yang di vonis hari ini xixixiiiii
.

[]
Gekbrong Desa kecil perbatasan , 14 Agustus 2010,
—Sambil ngabuburit ^_^.

Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

0 komentar:

Posting Komentar