Minggu, 16 Mei 2010

Ssst... Dilarang Jadi "Whistler Blower"

Tak banyak yang berani berkoar seperti yang ditunjukkan mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri Komisaris Jenderal Susno Duadji. "Nyanyian" Susno pun cukup nyaring. Sekali bersuara, pejabat-pejabat tinggi Polri terpapar dugaan makelar kasus dalam kasus pencucian uang oleh pegawai Direktorat Pajak Gayus Halomoan Tambunan.

Nama-nama itu antara lain Direktur Ekonomi Khusus Bareskrim Mabes Polri Brigadir Jenderal Polisi Raja Erizman, bekas Direktur Ekonomi Khusus yang sekarang menjabat Kapolda Lampung Brigadir Jenderal Polisi Edmond Ilyas, Kepala Unit Pencucian Uang Kombes Eko Budi Sampurno, dan Ajun Komisaris Besar Polisi Mardiyani. Ditambah Komisaris Polisi Arafat Enanie, Ajun Komisaris Polisi Sri Soemartini, mantan staf ahli Mabes Polri dan bekas Staf Ahli Jaksa Agung Sjahril Djohan.

Persoalan Gayus bermula dari kecurigaan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) atas jumlah uang sebesar Rp 25 miliar di rekening Gayus. Keganjilan laporan dari PPATK diterima Susno saat masih menjabat Kabareskrim. Laporan berisi pembengkakan rekening atas nama Gayus. Pegawai pajak golongan III-A itu pun dijerat tuduhan pencucian uang dan penggelapan.

Polisi bertindak dengan membekukan rekening Gayus. Aparat lalu memanggil belasan saksi ditambah saksi ahli dari PPATK. Setelah itu, polisi menetapkan Gayus tersangka karena terbukti melakukan pencucian uang pada pengalihan dana PT Megah Jaya Citra Garmindo Sukabumi sebesar Rp 370 juta. Duit juga masuk dari Roberto Santonius, konsultan pajak sebesar Rp 25 juta.

Menurut Susno, seluruh uang di rekening Gayus diduga hasil tindak pidana. Jenderal bintang tiga itu lalu memerintahkan Edmond Ilyas menyelidiki rekening tersebut. PPATK melaporkan temuan dalam empat tahap, yaitu Maret 2009, Juni 2009, Agustus 2009, dan Maret 2010.

Kasus Gayus masuk meja hijau. Dalam proses persidangan di Pengadilan Negeri Tangerang, Banten, Gayus dituntut satu tahun penjara. Belakangan majelis hakim PN Tangerang memvonis bebas Gayus. Kejanggalan inilah yang menggerakkan Susno membongkar ketidakberesan itu.

Sayangnya langkah Susno tak berbuah manis. Nyanyian mantan Kepala Kepolisian Daerah Jawa Barat malah menjadi bumerang. Pria kelahiran Pagar Alam, Sumatra Selatan, 1 Juli 1954 dijadikan tersangka penerima suap dalam perkara mafia hukum kasus PT Salmah Arwana Lestari (SAL). Peraih Whistle Blower Award 2010 kini mendekam di Rumah Tahanan Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat.

Susno tak sendiri. Banyak para pembongkar informasi (whistler blower) juga diproses hukum. Sebut saja Khairiansyah Salman, mantan anggota BPK. Khairiansyah ditetapkan tersangka kasus pemberian Dana Abadi Umat karena menerima uang transpor Rp 10 juta. Dia sebelumnya telah membongkar kasus korupsi di Komisi Pemilihan Umum.

Nasib Agus Tjondro agak lumayan. Ia "hanya" dipecat dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan lantaran buka suara ke media massa dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Ia membeberkan skandal dugaan suap dalam pemilihan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia, Miranda Swaray Goeltom. Alasan pemecatan, menurut Ketua Fraksi PDI Perjuangan di DPR Tjahjo Kumolo, Agus menerima dana gratifikasi dari Miranda dan merusak citra partai.

Kemudian, yang tak kalah tragis adalah kasus Endin Wahyudin pada 2001 silam. Dia melaporkan kasus penyuapan hakim agung. Tragis. Alih-alih mendapat perlindungan hukum, malah justru dijadikan terdakwa dan dijatuhi hukuman.

Dengan demikian miris sekali nasib para whistle blower. Posisi mereka tidak aman. Situasi seperti ini dikhawatirkan Wakil Ketua Komnas HAM Nurkholis. Ia mencontohkan kasus yang dialami Susno. Karena penahanan itu akan membuat masyarakat takut mengungkap ketidakberesan.

Padahal seperti tertuang dalam pasal 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, memberikan keterangan hak semua warga negara yang harus dilindungi. Pasal 10 pun menyebut demikian. Saksi, Korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.

Poin kedua dalam pasal 10, seorang Saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan. Berikutnya poin ketiga, ketentuan sebagaimana dimaksud pada poin pertama tidak berlaku terhadap saksi, korban, dan pelapor yang memberikan keterangan tidak dengan itikad baik.

Peran whistler blower pun dijamin Pasal 41 UU Tindak Pidana Korupsi. Isinya menjelaskan masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pemberantasan korupsi. Salah satunya dengan menjadi saksi pelapor. Karena itu masyarakat berhak atas perlindungan hukum dan penghargaan. Wajar jika Ketua Komnas Hak Asasi Manusia Ifdhal Kasim menilai ada pelanggaran HAM dalam penahanan Susno. Menurut Ifdhal, proses menetapkan orang sebagai tersangka harus ada alasan-alasan logis.

Sekretaris Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum Denny Indrayana punya pendapat sedikit berbeda. Menurut dia perlindungan itu berlaku bagi orang yang tak melakukan pidana yang sama. Jadi bolehlah Susno membeberkan segala yang dimiliki untuk membersihkan Indonesia dari korupsi. Namun jika memang terlibat di dalamnya, Susno tak berarti kebal hukum.

Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

0 komentar:

Posting Komentar